Rabu, 15 April 2015

LUKA INI MILIK SIAPA ???

Tidakkah para ********  kita terdahulu memikirkan apa yang akan kita rasakan saat ini? Atau kita yang terlalu bodoh hingga tak dapat membaca alur regenerasi, bahwa kita telah diproyeksikan untuk amanah ini? Dan, kemana mereka setelah amanah ini bergulir? Jangan-jangan mereka hanya ‘cuci tangan’ agar dapat segera lepas dari dakwah ini? Ah, betapa sakitnya hati ini.
         Mereka sebenarnya tahu, karena itu mereka menjelaskan bahwa tidak selamanya mereka akan menemani kita. Kita harus tahu bahwa mereka sibuk. Ada amanah yang lain yang mungkin lebih tinggi dari amanah kita sekarang ini. Mereka memikul beban yang boleh jadi lebih berat. Kita harus mengerti. Tapi, di saat mereka ingin dimengerti, sadarkah bahwa kita pun ingin dimengerti?
         Terlebih para *********, yang tak lain adalah teman dan adik-adik kita sendiri, sepertinya tak mampu merasakan bagaimana sulitnya kita untuk istiqomah. Rasanya dada ini semakin sesak kalau kita ingat mereka jugalah yang dulu memilih kita di posisi ini, meyakinkan kita bahwa kitalah yang pantas memimpin mereka. Tapi sekarang? Mereka dengan mudah berkata “’afwan” di setiap panggilan kita tanpa memberi alasan yang jelas. Apa mereka lupa kalau *******itu harus patuh ? Getir jadinya kalau ingat definisi ukhuwah itu apa.
         Di satu sisi kita ingin ‘ngebut’ mengukir prestasi ini-itu saat menjabat, tapi ketidakdisiplinan mereka menjadikan jalan ini macet, yang akhirnya tenaga kita malah terkuras banyak untuk mengurusi mereka daripada tuntutan dakwah itu sendiri. Merepotkan!
         Ya ya ya, mungkin mereka begitu karena sibuk dengan amanah di tempat lain yang lebih membutuhkan mereka. Mungkin saja mereka memang kurang terpaut hatinya, atau kurang tahu mereka harus kerja apa, dan lain sebagainya. Maklum, ada banyak persoalan yang harus disabari dalam jama’ah ini. Justru seharusnya kita  dapat lebih sabar dan kuat dalam menyikapi mereka. Memang benar, kita harus mencoba mengerti mereka. Kita harus dewasa dalam menyikapi ‘kepolosan’ mereka. Bagaimanapun kita adalah Guru TPA. Ya, betul sekali, kita Guru TPA. Tapi, di saat mereka ingin dimengerti, sadarkah bahwa kita pun ingin dimengerti?
         Tubuh kita semakin lemas, jika mendapati amanah-amanah yang kita pikul ternyata tidak menunjukkan progres yang jelas, tidak tahu mau dibawa kemana, dan sampai kapan kita akan terus begini. Kita buta dengan sistem dan tidak dapat menjalankannya. Kenapa? Karena kita belum ada pengalaman sebelumnya. Ingat, kita ‘prematur’! Sementara ******* terdahulu belum seutuhnya mewariskan apa-apa yang seharusnya kita dapatkan.
         Untuk membuat sistem baru, rasanya berat. Kita menyadari bahwa kita bukan orang yang pandai mengonsep lantaran kita termasuk orang lapangan yang biasa mendapat turunan tugas dari atasan. Atau kita bisa mengonsep, tapi melihat para ******seperti itu, sepertinya semangat kita jadi hilang dan harapan kita menjadi pupus adanya.
Kalau semua amanah ingin dimengerti, para ***** ingin dimengerti, ******* ingin dimengerti, dan segala tuntutan-tuntutan itu juga harus dimengerti, lantas siapa yang akan mengerti kita?
         Seperti pepatah “tak ada gading yang tak retak”, maka kita pun demikian. Kita manusia biasa, bukan superman. Penampilan kita yang kokoh bukan berarti diri kita luput dari kerapuhan. Sosok kita yang kuat bukan berarti kita tanpa kelemahan. Ada saat dimana kita ingin dimengerti dan menuangkan semua perasaan penat ini.
         Tapi kepada siapa? Teman-teman sepertinya banyak yang kurang mengerti. Kalaupun kita menceritakan ini semua, tidakkah nantinya kita dianggap orang yang lemah? Kita harus menjadi teladan bagi mereka. Jangan sampai mereka antipati karena melihat sisi kelemahan kita. Apalagi sekarang ini sudah zamannya krisis keteladanan. Jelas kita tidak ingin menjadi seperti mereka, kader yang norak karena tak memiliki izzah dan integritas.
         ******** ? Ah, jangankan untuk mendengar curhatan kita, terkadang karena kesibukannya untuk bertemu saja susah. Akhirnya, kita jugalah yang harus mengerti beliau. Rindu rasanya sosok *****yang komplit menjalankan perannya sebagai orangtua, pemimpin, guru, dan sahabat.
         Orangtua kita? Terkadang tidak semua orangtua itu enak diajak ngobrol. Bahagialah jika di antara kita memiliki orangtua yang supel dan mengerti anaknya. Tapi bagaimana jika mereka adalah orangtua yang tempramen, kolot, dan tidak memahami apa yang kita jalani ini? Ujung-ujungnya, kitalah yang harus melapangkan dada untuk lebih memahami mereka. Kita paham, masalahnya bukan seperti apa mereka pada kita, tapi seperti apa kita pada mereka. Dan karena rasa sayang kita pulalah, kita jadi tak tega untuk menceritakan keluh kesah kita di jalan dakwah ini, kuatir membebani pikiran mereka nantinya.
         Lalu kemana lagi? Facebook? Twitter? Jejaring sosial lainnya? Ah, apa kata orang-orang kalau kita, yang mereka kenal sebagai aktivis dakwah ini, curhat di statusnya, “Uuuuh, ada gak sieh yang coba ngertiin gw?” Lalu dengan singkat komen pun berdatangan, “Nape lo, GALAU ?” Dan selanjutnya, percakapan yang tidak seharusnya diungkapkan pun terekspos kepada khalayak. Hingga kemudian pihak oposisi dakwah tertawa geli melihat ‘kelucuan’ kita yang tak lucu tersebut.
         Kepada suami/istri kita? Itu dia masalahnya. Kalau sudah punya sih enak saja curhat dan saling menguatkan. Tapi kalau belum punya? ;(
         Jika sudah seperti ini, jangan salahkan kita kalau ada besitan untuk MUNDURRR lari dari tanggung jawab dan jadi ‘orang biasa’ dalam menjalani hari-harinya tanpa beban amanah dakwah. Wong kalau kalau jadi 'orang biasa' itu kan enak. Karena tidak ada label aktivis dakwah, jadi mau seperti apa juga bebas!
         Tapi di saat yang sama, ketika pikiran kita memutar rekam jejak pahitnya dakwah yang kita rasakan, kita tak dapat menepis suara hati yang mengingatkan kita tentang teori-teori cinta dan arti perjuangan sejati. Semua bercampur menjadi proses tadabur, tafakur, sekaligus muhasabah diri. Tanpa kita sadari, kita merefleksikan tarbiyah dan dakwah yang selama ini kita selami. Hingga akhirnya, ‘pertempuran hati’ terjadi:
Sumber : https://www.facebook.com/amirullah.arrassyid/notes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar