Jumat, 17 April 2015

"SIKLUS"


Assalamu'alaikum... salam SUPERR..!!!
hadir membri sedikit artikel, semoga bermanfaat.. "Selamat Membaca..."

Kita bukannya tidak bisa, tapi tidak sempat.
Kita bukannya tidak sempat, tapi tidak mau.
Kita bukannya tidak mau, tapi tidak tahu.
Kita bukannya tidak tahu, tapi tidak peduli.
Kita bukannya tidak peduli, tapi tidak bisa.
Setuju dengan siklus di atas? Itulah . Siklus yang diam, statis, tidak bergerak, dan jika dibiarkan terus akan menjadi penyebab terhentinya aliran kebaikan lantaran tidak adan satupun hati yang tergerak. Laiknya air yang tidak bergerak, cepat atau lambat akan menimbulkan kekeruhan dan menjadi sumber penyakit.
Saudaraku, sadarkah bahwa siklus ini kerap kita temui, hadapi, atau mungkin pernah kita jalani tanpa kita sadari? Mungkin bermula dari munculnya rasa malas, kemudian lahir kecenderungan untuk melarikan diri dari amanah dan masalah, hingga akhirnya terciptalah alasan-alasan yang sekiranya dapat dijadikan pembenaran atas kekeliruan yang terjadi. Kala itu, berjuta alasan lahir seakan tanpa dipikir. Atau mungkin dipikir dulu, barulah lahir sebuah alasan.
Lantas siapakah yang terjebak pada siklus ini? Entahlah. Bisa jadi kita semua. Karena kita hidup dalam sebuah sistem. Laksana siklus hujan, yang mana awal dan akhir hanyalah titik di mana sebenarnya semua saling terkait. . So.. Tetap SEMANGAT HADAPI TANTANGAN.. Insya Allah... :-) Semoga bermanfaat....

Rabu, 15 April 2015

LUKA INI MILIK SIAPA ???

Tidakkah para ********  kita terdahulu memikirkan apa yang akan kita rasakan saat ini? Atau kita yang terlalu bodoh hingga tak dapat membaca alur regenerasi, bahwa kita telah diproyeksikan untuk amanah ini? Dan, kemana mereka setelah amanah ini bergulir? Jangan-jangan mereka hanya ‘cuci tangan’ agar dapat segera lepas dari dakwah ini? Ah, betapa sakitnya hati ini.
         Mereka sebenarnya tahu, karena itu mereka menjelaskan bahwa tidak selamanya mereka akan menemani kita. Kita harus tahu bahwa mereka sibuk. Ada amanah yang lain yang mungkin lebih tinggi dari amanah kita sekarang ini. Mereka memikul beban yang boleh jadi lebih berat. Kita harus mengerti. Tapi, di saat mereka ingin dimengerti, sadarkah bahwa kita pun ingin dimengerti?
         Terlebih para *********, yang tak lain adalah teman dan adik-adik kita sendiri, sepertinya tak mampu merasakan bagaimana sulitnya kita untuk istiqomah. Rasanya dada ini semakin sesak kalau kita ingat mereka jugalah yang dulu memilih kita di posisi ini, meyakinkan kita bahwa kitalah yang pantas memimpin mereka. Tapi sekarang? Mereka dengan mudah berkata “’afwan” di setiap panggilan kita tanpa memberi alasan yang jelas. Apa mereka lupa kalau *******itu harus patuh ? Getir jadinya kalau ingat definisi ukhuwah itu apa.
         Di satu sisi kita ingin ‘ngebut’ mengukir prestasi ini-itu saat menjabat, tapi ketidakdisiplinan mereka menjadikan jalan ini macet, yang akhirnya tenaga kita malah terkuras banyak untuk mengurusi mereka daripada tuntutan dakwah itu sendiri. Merepotkan!
         Ya ya ya, mungkin mereka begitu karena sibuk dengan amanah di tempat lain yang lebih membutuhkan mereka. Mungkin saja mereka memang kurang terpaut hatinya, atau kurang tahu mereka harus kerja apa, dan lain sebagainya. Maklum, ada banyak persoalan yang harus disabari dalam jama’ah ini. Justru seharusnya kita  dapat lebih sabar dan kuat dalam menyikapi mereka. Memang benar, kita harus mencoba mengerti mereka. Kita harus dewasa dalam menyikapi ‘kepolosan’ mereka. Bagaimanapun kita adalah Guru TPA. Ya, betul sekali, kita Guru TPA. Tapi, di saat mereka ingin dimengerti, sadarkah bahwa kita pun ingin dimengerti?
         Tubuh kita semakin lemas, jika mendapati amanah-amanah yang kita pikul ternyata tidak menunjukkan progres yang jelas, tidak tahu mau dibawa kemana, dan sampai kapan kita akan terus begini. Kita buta dengan sistem dan tidak dapat menjalankannya. Kenapa? Karena kita belum ada pengalaman sebelumnya. Ingat, kita ‘prematur’! Sementara ******* terdahulu belum seutuhnya mewariskan apa-apa yang seharusnya kita dapatkan.
         Untuk membuat sistem baru, rasanya berat. Kita menyadari bahwa kita bukan orang yang pandai mengonsep lantaran kita termasuk orang lapangan yang biasa mendapat turunan tugas dari atasan. Atau kita bisa mengonsep, tapi melihat para ******seperti itu, sepertinya semangat kita jadi hilang dan harapan kita menjadi pupus adanya.
Kalau semua amanah ingin dimengerti, para ***** ingin dimengerti, ******* ingin dimengerti, dan segala tuntutan-tuntutan itu juga harus dimengerti, lantas siapa yang akan mengerti kita?
         Seperti pepatah “tak ada gading yang tak retak”, maka kita pun demikian. Kita manusia biasa, bukan superman. Penampilan kita yang kokoh bukan berarti diri kita luput dari kerapuhan. Sosok kita yang kuat bukan berarti kita tanpa kelemahan. Ada saat dimana kita ingin dimengerti dan menuangkan semua perasaan penat ini.
         Tapi kepada siapa? Teman-teman sepertinya banyak yang kurang mengerti. Kalaupun kita menceritakan ini semua, tidakkah nantinya kita dianggap orang yang lemah? Kita harus menjadi teladan bagi mereka. Jangan sampai mereka antipati karena melihat sisi kelemahan kita. Apalagi sekarang ini sudah zamannya krisis keteladanan. Jelas kita tidak ingin menjadi seperti mereka, kader yang norak karena tak memiliki izzah dan integritas.
         ******** ? Ah, jangankan untuk mendengar curhatan kita, terkadang karena kesibukannya untuk bertemu saja susah. Akhirnya, kita jugalah yang harus mengerti beliau. Rindu rasanya sosok *****yang komplit menjalankan perannya sebagai orangtua, pemimpin, guru, dan sahabat.
         Orangtua kita? Terkadang tidak semua orangtua itu enak diajak ngobrol. Bahagialah jika di antara kita memiliki orangtua yang supel dan mengerti anaknya. Tapi bagaimana jika mereka adalah orangtua yang tempramen, kolot, dan tidak memahami apa yang kita jalani ini? Ujung-ujungnya, kitalah yang harus melapangkan dada untuk lebih memahami mereka. Kita paham, masalahnya bukan seperti apa mereka pada kita, tapi seperti apa kita pada mereka. Dan karena rasa sayang kita pulalah, kita jadi tak tega untuk menceritakan keluh kesah kita di jalan dakwah ini, kuatir membebani pikiran mereka nantinya.
         Lalu kemana lagi? Facebook? Twitter? Jejaring sosial lainnya? Ah, apa kata orang-orang kalau kita, yang mereka kenal sebagai aktivis dakwah ini, curhat di statusnya, “Uuuuh, ada gak sieh yang coba ngertiin gw?” Lalu dengan singkat komen pun berdatangan, “Nape lo, GALAU ?” Dan selanjutnya, percakapan yang tidak seharusnya diungkapkan pun terekspos kepada khalayak. Hingga kemudian pihak oposisi dakwah tertawa geli melihat ‘kelucuan’ kita yang tak lucu tersebut.
         Kepada suami/istri kita? Itu dia masalahnya. Kalau sudah punya sih enak saja curhat dan saling menguatkan. Tapi kalau belum punya? ;(
         Jika sudah seperti ini, jangan salahkan kita kalau ada besitan untuk MUNDURRR lari dari tanggung jawab dan jadi ‘orang biasa’ dalam menjalani hari-harinya tanpa beban amanah dakwah. Wong kalau kalau jadi 'orang biasa' itu kan enak. Karena tidak ada label aktivis dakwah, jadi mau seperti apa juga bebas!
         Tapi di saat yang sama, ketika pikiran kita memutar rekam jejak pahitnya dakwah yang kita rasakan, kita tak dapat menepis suara hati yang mengingatkan kita tentang teori-teori cinta dan arti perjuangan sejati. Semua bercampur menjadi proses tadabur, tafakur, sekaligus muhasabah diri. Tanpa kita sadari, kita merefleksikan tarbiyah dan dakwah yang selama ini kita selami. Hingga akhirnya, ‘pertempuran hati’ terjadi:
Sumber : https://www.facebook.com/amirullah.arrassyid/notes

" ? " (TANDA TANYA)

Namun, masih adakah yang peduli? Bahkan lebih banyak orang yang hanya melihat-lihat situasi dan sekadar menjadi penonton, menunggu perubahan terjadi.

Adakah situasi yang lebih menakutkan daripada hilangnya rasa empati di dunia ini?
Jika ternyata sistem yang buruk ini pun bukan berdiri dengan sendirinya, namun karena hilangnya rasa kesadaran dan kepedulian orang-orang di dalamnya. Mereka bukannya melakukan upaya perbaikan, tetapi malah terseret arus...
Kemudian mereka saling mengeluhkan dan menyalahkan, tak ada kemajuan.

Adakah situasi yang lebih menakutkan daripada hilangnya rasa empati di dunia ini?
Jika ternyata kita tak jauh berbeda dari mereka yang hatinya menipis karena imannya terkikis. Terlalu banyak menunggu. Terlalu lama membisu. Tanpa peduli. Tanpa berarti.

Adakah situasi yang lebih menakutkan daripada hilangnya rasa empati di dunia ini?
Jika ternyata potret krisisnya kemanusiaan ini bukanlah tanpa sebab, tetapi bermula dari himpitan atas kondisi tertentu yang memaksa mereka untuk begitu. Himpitan yang berasal dari kemiskinan harta, kemiskinan ilmu, hingga kemiskinan hati. Hingga kemudian dengan dalih, “Terpaksa,” orang-orang nekat berbuat apa saja tanpa pikir panjang. Tak ada rasa malu. Karena rasa malu sudah tak lagi berlaku.

Sumber : https://www.facebook.com/amirullah.arrassyid/notes

Yuk, Bersahabat dengan Ketakutan !

Sodaraa.. sering nggak takut?

ketakutan yang kadang nggak beralasan.
Takut gagal, takut kecewa, takut nggak makan (yang ini jarang terjadi mungkin), dan ketakutan yang lainnya.

Misalnya, seorang siswa yang stres, takut gagal UN. Malahan yang dipikirkannya gimana biar waktu bisa distop ? atau gimana biar dapet banyak contekan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya ... Halaah.. kok ribet banget yach...

Tapi percaya nggak, penelitian modern membuktikan kalau 80 % ketakutan itu hanya ada pada pikiran (mindset) kita.

Ya... banyak diantara kita yang malah menghabiskan energi terbaiknya untuk memikirkan ketakutan-ketakutan tersebut.

Kalau sedikit mengulas tentang bagain-bagian otak, ternyata emang ada loh bagian otak kita yang berfungsi mempertahankan diri. Tepatnya otak reptil. Ni otak pertanyaanya keren "Gmana biar bisa mempertahankan diri dan selamet ye ?" Nah.. inilah yang mungkin mendasari jika orang kalut, apapun bisa jadi ia lakuin. boleh jadi tanpa sadar, kenapa ? karena saat itu, pikirannya hanya satu "MENYELAMATKAN DIRI".

Pernah denger "The Power of Kepepet" khan ? Misalnya orang dikejar anjing.. yang biasanya jarang olah raga, eh malahan bisa lari secepat kilat. Apa ia menyengajakan diri ? Nggak, tapi memang adrenalin dan otaknya berkolaborasi untuk melakukan manuver canggih yang tidak pernah diprediksikan sebelumnya.

Jadi apa hubungannya ? baik-baik saja (He3x).. Gini loh frend, kita harus mulai menghubah paradigma berpikir kita tentang ketakutan-ketakutan tersebut. Bahasa kerennya change our mindset. Coz, penelitian pun udah membuktikan kalau 80% ketakutan itu tidak pernah terjadi. Nah Loh ? jadi kenapa masih takut.


Yakin deh...
ada banyak peluang dibalik tantangan
ada banyak hikmah dibalik ujian
dan
ada banyak udang dibalik batu (eh... salah ! He3x)

Ni.. kesimpulannya lebih serius nih... simak dengan baik. Seperti Ninja Sasain dapet petuah dari Suhu (gurunya)

Lakukan saja apa yang ingin kau lakukan selama dalam kebaikan
Jangan batasi dirimu dengan berpikir biasa... luar biasakanlah
Kembangkan terus minat dan bakat... karena disana kunci keberhasilanmu
Atur waktu secara bijak.. karena disana letak keseimbangan dirimu
Bergaullah dengan orang yang beraneka ragam .... karena disanalah hidupmu sebenarnya

Ingat...
hanya mereka yang takut dan mengelola ketakutannya dengan bijak
yang mampu menemukan keindahan hidup

Takut dosa.... perbanyak pahala
Takut neraka.... perbanyak ibadah
Takut miskin... perbanyak derma

Slamat mengelola ketakutan !!

Sumber: https://www.facebook.com/amirullah.arrassyid/notes

Antara Cita, Cinta, Citra dan Cerita

Cita membuat kita tetap semangat dan punya harapan
Cinta menjadikan hidup lebih berwarna dan bergairah
Citra menakar sejauh mana orang menghargai kita
Cerita menjadi kesan mendalam dalam sejarah sehingga nama kita lebih panjang dibandingkan rentang usia kita.

Jadi, apa citamu?
Seberapa besar cintamu?
Seharum apa citramu?
Sehebat apa ceritamu dalam kehidupan yang singkat ini?

Catatan Fb Amirulloh Arrassyid

Biarlah. . .

tak teritung hari tlah sbrapa lama speti ini. . .
hati yg dlu tenteram mdadak jd gundah. . .
pqiran yg dlu tenang mdadak jd resah. . .

ingin rasanya blari kencaang skencang-kencangnya, tapi untuk apa??
ingin rasa'a aq bteriak keraas skeras-kerasnya, tapi krna sypa??
ingin pula rasa'a aq ingin pergi jauuh sejauh-jauhnya, tapi mengapa??

tak hbis ku berpikir. . . bgnikah rasa'a dsaat hati dan pikiran enggan tuk bersatu???

bila memang harus terjadi maka byar terjadilah. . .
akan ku persiapkan diri

@Catatan di FB Amirullah Arrassyid

Mengapa Harus PEMUDA ?

Berbicara tentang pemuda memang tak pernah ada habisnya. Apalagi di abad 21 ini. Cobalah, lemparkan satu saja pertanyaan kepada para tetua tentang para pemuda zaman sekarang, maka hampir sebagian besar dari mereka, hanya sanggup menggelengkan kepala atau mungkin justru sumpah serapahlah yang keluar dari mulut mereka.
Mengapa? Jelas, karena hampir sebagian besar kata pemuda, seringkali dikaitkan dengan kata pemabuk, pencuri, pengangguran, berandalan, dan yang baru marak akhir-akhir ini, pembegal. Kalau tidak percaya, bisa kita intip di berita harian televisi, ada berapa banyak pemberitaan mengenai pemuda yang masuk bui akibat tindak kejahatan mereka? Ada berapa banyak nyawa mereka yang melayang dengan sia-sia hanya karena miras oplosan atau tawuran pelajar?
Kita yang juga pemuda ini, harusnya miris bin eneg dengar stigma yang menyakitkan hati ini. Kita kan nggak melakukan itu, tapi imbasnya kita juga yang tertuduh. Lagi pula, mengapa justru image seperti ini sih yang menyebar di media-media cetak, audio, maupun audio visual Indonesia? Para pemuda yang digadang-gadangkan menjadi pemimpin, penggerak dan pembawa Indonesia menuju ambang kesuksesan, justru malah terpuruk, tak tentu arah. Seolah tak punya semangat dan motivasi melihat kondisi bangsanya yang carut marut tak karuan.
Cobalah, kita tanyakan sekali lagi kepada para tetua tentang para pemuda. Bukan, bukan di masa kini, tapi pemuda di masa mereka. Perhatikanlah raut muka mereka, maka kita akan melihat mata mereka yang mulai sayu, seolah kembali menjadi muda. Dengan penuh senyuman yang berseri-seri, mereka akan menceritakan kehebatan mereka di masa itu. Perjuangan mereka merebut kembali tanah air tercinta. Tak terbayangkan darah, air mata, serta keringat yang telah mereka kucurkan kala itu terbayar dengan kemerdekaan Indonesia. Tapi apa? Apa yang diperbuat para pemuda zaman sekarang untuk berterima kasih pada para kakek dan neneknya? Hura-hura, pacaran, sex bebas, aborsi, menyedihkan sekali.
Stigma buruk tentang para pemuda masa kini inilah yang harus kita ubah. Generasi kita dan generasi orang tua kita tidaklah terpaut jauh. Perkembangan teknologi yang sedemikian pesat seolah menjadi jembatan panjang perbedaan kita. Pemuda masa kini terlampau nyaman dengan fasilitas serba canggih di sekitarnya. Bukannya terpacu semangat memanfaatkan kemudahan yang ada, malah justru loyo dan berleha-leha, menganggap bahwa waktu mudalah saat yang tepat untuk bersenang-senang. Tak ada kerja keras.
Lalu mengapa? Mengapa harus pemuda yang menjadi sorotan? Mengapa bukan orang dewasa? Bukankah mereka lebih bijak dan stabil emosinya? Lalu mengapa pula Bung Karno pernah ngotot mengatakan “Beri aku 10 pemuda, maka akan aku goncang dunia!” Apa pula maknanya itu? Tak lihat apa mereka itu pembuat onar?
Tapi ternyata, di balik image pemuda yang serba amburadul gak jelas, Allah memberikan keistimewaan yang begitu besar pada kita para pemuda. Iya, kita. Usia, kesempatan belajar, idealisme, dan energi, itu semua milik para pemuda. Tak hanya itu, Allah juga menganugerahkan kita kekuatan intelektual, ingatan, dan analisa yang tajam. Ingat Muhammad Al Fatih sang penakhluk kokohnya benteng Konstantinopel? Atau Salman al Farisi, pencetus ide pembuatan parit untuk menghadang puluhan ribu musuh yang tak sebanding jumlahnya dengan kaum muslimin kala itu? Atau Khalid bin Walid, panglima perang yang tak pernah kalah sepanjang hidupnya dalam peperangan, bukan hanya kepiawaiannya dalam menggunakan senjata, tapi juga kecerdasannya mengatur strategi perang. Berapa usia mereka? Masih sangat belia… merekalah para pemuda yang memberi andil besar dalam tonggak sejarah Islam.
Jika Bung Karno hanya butuh 10 pemuda, maka di sinilah Indonesia memiliki hampir 63 juta pemuda. Potensi yang sangat besar untuk menjadi “otak” penggerak lajunya roda pembangunan bangsa dan negara kita. Tenaga produktif yang mampu menciptakan ide-ide baru, segar dan nyentrik.
Potensi besar para pemuda inilah yang sangat penting untuk dididik, dibina, dikembangkan, serta diarahkan agar dapat menghasilkan kontribusi yang positif bagi pembangunan nasional. Agar tak menjadi sampah, tapi Hero di masyarakat. Agar tak hanya sekadar benalu, tapi pohon kokoh yang berdiri dengan tegak dan menjadi tempat bernaung bagi yang lain.
Tak perlu kita berkecil hati bergelar pemuda Indonesia, bukan Jepang atau Amerika yang sangat maju. Di balik image kelam pemuda Indonesia yang tersorot di media tv, masih banyak kuntum-kuntum yang tengah mekar berprestasi mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia. Ada Ahmad Zainuri, penemu Brailevoice, ada Nurul dan Nanda yang menemukan bahwa energi matahari dan urine dapat berubah menjadi energi listrik, ada ratusan pemuda lainnya yang menghebatkan diri melawan kemalasan dan serius menekuni potensi mereka hingga mampu tumbuh dan menjadi sosok inspirator yang dihargai dunia karya-karyanya.
Jadi, masih bertanya mengapa harus pemuda?

dktn

Senin, 13 April 2015

Perempuan (makhluk berkromosom XX)

(Dishare kepada para suami & calon suami).
KROMOSOM PEREMPUAN.
Perempuan (makhluk berkromosom XX) yang jiwanya butuh mengeluarkan 20 ribu kata per hari.
Ibu yang jarang diajak ngobrol santai oleh suaminya, maka bahasa tubuh dan nada bicaranya tidak mengenakkan.
Menyusui anak akan resah, tak sabar dengann kelakuan anak, bahkan cenderung menjadikan anak sebagai sasaran pelimpahan emosi yang tidak semestinya.
Jadi, kadang endapan permasalahan dengan
sang ayah dimanifestasikan dalam bentuk amarah yang tidak jelas kepada anak-anak.
Terkadang, ada Ibu yang tetap sabar kepada anak-anaknya meskipun Ayah tak memberi ruang bagi jiwanya..., tapi manifestasi ekstrim nya dalam bentuk penyakit fisik yang sulit sembuh.
Maka tugas wajib ayah adalah memberikan ruang, waktu dan suasana setiap hari bagi Ibu untuk bicara sebagai upaya untuk selalu menyehatkan jiwanya, mendengar keluh kesahnya.
Rangkul Ibu untuk marah dan menangis kepada Ayah saja agar sehat jiwanya, agar Ibu bisa selalu memberikan bunga cinta untuk anak-anaknya.
Ibu yang sehat jiwanya dapat menjalankan tugasnya
sebagai sekolah terbaik bagi putra-putri nya...
Ia bisa tahan berjam-jam mendengar keluhan anak-anaknya. Ia mudah memaafkan anaknya. Ia menjadi madrasah yang baik untuk menanamkan nilai- nilai Robbany..., dan hal ini harus didukung oleh ayah yang memperhatikan bathinnya, disamping kesehatan fisiknya. Ibu harus sehat luar dalam.
Ayah yang hebat, berawal dari suami yang hebat, yang mengerti jiwa dan kebutuhan pasangan.
Singkatnya, bahagiakan pasangan kita,
karena ia adalah madrasah utama bagi anak-anak kita.

Rabu, 01 April 2015

Saya Ingin, tapi Orang Lain yang Mendapatkannya

Menurut saya, rasanya tahu kalau orang lain yang tidak begitu ingin mendapatkan apa yang sangat kita inginkan itu, seperti terjun dari jurang yang sangat tinggi. Dari yang awalnya berada di tempat tinggi, jlep, dengan cepat melesat pada titik terbawah.
Hati saya seketika mengecil, menciut serta merasakan desiran aneh. Desiran yang mengindikasikan kondisi hati, dari yang awalnya lapang, menjadi sesak menampung segala. HuftWow, rasanya… AmazingAmazing sakitnya. Baru kali ini saya rasakan. Mungkin karena ini adalah obsesi atau keinginan terbesar saya saat ini.
Selama ini saya sudah mencoba berbagai kesempatan yang ada dan berusaha semampu saya. Juga memohon kepada Allah SWT agar menghantarkan saya kepada keinginan tersebut dalam setiap doa yang saya panjatkan. Namun keinginan itu, masih belum terwujud. Saya pun berusaha untuk tidak kecewa.
Dalam kondisi tersebut, saya mendengar kabar bahwa teman saya telah memperoleh sesuatu yang sebenarnya sangat saya inginkan itu. Kabarnya lagi, teman saya tersebut sebenarnya tidak terlalu menginginkannya.
Saya yakin bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah dalam pengaturan-Nya. Memang, saya juga sudah berusaha untuk tidak kecewa. Namun ketika pertama kali mendengar kabar ini, saya tidak bisa untuk tidak berkata, “Ya Allah, dia yang tidak begitu menginginkan bisa mendapatkan hal tersebut dengan cepatnya….” yang bisa jadi mengindikasikan bahwa saya kecewa. Astaghfirullahaladziim.
Setelah itu pilihan saya hanya ada dua. Selamanya kecewa, menyesal, iri dengki, dan merasa Dia tidak adil, atau berpasrah, ikut berbahagia, serta tetap mendoakan yang terbaik bagi teman saya.
Saya memilih pilihan kedua. Hasilnya, lebih dari amazing yang kurasa. Amazing leganya. Perasaan menerima semua keputusanNya itu indah. Memilih untuk selalu percaya padaNya bahwa Dia pasti akan selalu memberi yang terbaik, karena Dia jauh lebih mengetahui merupakan pilihan yang melapangkan hati. Jadi tidak ada kekhawatiran atas apapun. Dan perasaan ikut berbahagia atas kebahagiaan orang lain, it is more than amazing, karena saya tidak hanya merasa bahagia, namun saya juga merasakan ketenangan, kenyamanan, dan hati saya tidak sesak oleh ratapan-ratapan kesedihan. Wow, bahagia sekali.
Jika kita bisa merasakan bahagia jika dan hanya jika kita yang bahagia, alangkah sedikitnya kesempatan bahagia yang ada. Namun jika kita bisa berbahagia tidak hanya karena kebahagiaan kita sendiri, tetapi kebahagiaan orang lain juga, maka betapa banyaknya kesempatan kebahagiaan itu. Karena berasal dari banyak sumber kebahagiaan, bukan hanya satu sumber saja, bukan kebahagiaan pribadi kita saja.
Salam.

TERTAWA = BAHAGIA ?

Apakah kebahagiaan jiwa berbanding lurus terhadap intensitas tertawa? Apakah semakin sering tertawa, seseorang akan merasakan kebahagiaan jiwa?
Bagi saya, tidak. Kebahagiaan jiwa tidak selalu berbanding lurus terhadap intensitas tertawa. Kekosongan jiwa tetap saja saya rasakan ketika setiap hari, setiap saat saya tertawa. Iya, memang senang, tapi setelah itu, ya sudah, senangnya hilang berganti kekeringan.
Saya tidak tahu kenapa seperti ini. Mungkin inilah yang membuat sebagian orang-orang kaya, tenar, serta punya kekuasaan terjerumus menggunakan obat-obat terlarang dengan dalih mencari ketenangan. Jika kita lihat, mereka mempunyai apa yang diinginkan setiap orang, harta, popularitas, dan kekuasaan. Mereka juga tampak sering tertawa, dan sepertinya hidupnya diisi kesenangan semata. Tapi kenapa mereka masih saja mencari sesuatu yang bisa dianggap menenangkan dan menentramkan hati.
Jadi, apa sebenarnya kebahagiaan itu? Penasaran, saya sedikit googling tentang kebahagiaan.
Bahagia itu ialah tetap taat kepada Allah sepanjang hidup. 
Kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu.
Oh, jadi pantas saja saya sering tertawa tapi tetap merasa hampa. Lha wong saya tertawa, tapi dengan itu saya jadi melewatkan waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk membaca. Saya tertawa, di saat jatah waktu untuk berdzikir. Saya tertawa, tanpa terasa membuang waktu begitu saja. Dan sampai akhirnya tertawa membuat saya lupa merenung, mengabaikan tafakur.
Dan di satu sisi, saya melewati hari tanpa membaca Al-Qur’an setiap hari. Terbukti bahwa Al-Qur’an memang melembutkan hati. Dalam hari-hari tanpa membaca Al-Qur’an tersebut, sempat saya berfikir, “Ah, tidak apa-apa hari ini saja tidak membaca Al-Qur’an. Besok kan juga bisa baca.”
Tapi, besoknya saya mengulangi pernyataan di atas, tidak apa-apa, untuk hari ini saja tidak membaca Al-Qur’an. Dan begitu seterusnya sampai saya menyadari ada yang keliru. Pelajaran yang didapat, meskipun tidak tahu arti yang dibaca, membaca Al-Qur’an tetap bisa menentramkan jiwa, bisa membantu meredam emosi, serta menguatkan kesabaran, yang berujung pada kebahagiaan. Setidaknya itu yang saya rasakan. :)
Ya, banyak tertawa bukan berarti jiwa bahagia. Karena sejatinya bahagia itu ketika hidup dalam ketaatan pada Sang Pencipta.
Banyak tempat, banyak momen yang mengajarkan kita akan sebuah keutamaan Allah di atas segalanya. Sekalipun hanya sebuah masalah kecil, tapi ia bisa menjadi sebuah pembelajaran besar bahwa selama engkau masih menjadikan Allah yang utama maka selamanya kita harus siap melewati setiap setiap langkahnya, tak pilih apakah itu menyenangkan, membuat kita tersenyum bahagia atau bahkan membuat air matamu menetes atau beratnya lagi engkau dituntut menjadi lebih tenang menyikapi dan menyelesaikan.
Pernah suatu ketika seseorang ditanya, Rasulullah banyak masalah? Rasulullah berat masalahnya? Rasulullah banyak ujiannya? Jawabannya iya, lalu akhirnya bagaimana? Bahagia atau sengsara? Jawabannya pasti ” Bahagia”.
Lalu kita? Yah.. belum seberapa, hanya sedikit, sedikit sekali, hanya kecil hambatan, lalu kenapa kita lari dariNya? Seharusnya tambah mendekat bukan? Memang sudah sebuah kemestian, untuk bahagia itu harus melewati rintangan. Tak mungkin, engkau bisa bijaksana, jika tak ada konflik yang engkau hadang. Engkau tak akan mungkin bisa dewasa kalau tak ada ujian yang kau lalui. Engkau tak mungkin bisa berlari kalau kau tak pernah melangkahkan kaki mu. Engkau tak mungkin bisa tahu kesalahan mu kalau engkau tak pernah ditegur atas kesalahan mu. Yah.. semuanya bisa kita dapatkan di sini di kehidupan ini, bisa kita temukan, saksikan bahkan kita melewatinya.