Pada suatu waktu, tidak semua orang tahu kemana ia harus menuju.
Mereka berjalan dalam upaya pencarian tujuan. Saat itulah mereka mampir,
menepi sejenak sekadar menanyakan arah tujuan kepada orang yang juga
mampir di pinggir jalan.
Mungkin kita pernah dihampiri dan menghampiri seperti itu. Saat itu kita bertanya, “Maaf, numpang nanya, jalan anu kemana ya?”
Lalu jawaban apa yang kita dapatkan? Beragam. Lalu bagaimana perasaan kita setelah itu? Beragam.
Ada dari mereka yang cuek lalu menjawabnya hanya dengan dagu, “Tuh,
ke sana!” Setelahnya, sambil melanjutkan perjalanan, kita menyadari
sesuatu. Meski jawaban telah kita dapatkan, tapi ada ketidaknyamanan
yang kita rasakan.
Ada pula jawaban yang membingungkan. Sambil garuk-garuk kepala, dahi
yang mengerut, serta mata fokus ke atas, mereka menjawab, “O, itu kalau
nggak salah lurus aja, lalu setelah lewat tikungan ketiga, eh, apa
tikungan keempat, ya? Nah, baru belok. Hm… iya kayaknya gitu deh.”
Tak jarang ada jawaban yang begitu kaya informasi. Sampai-sampai kita
bingung hendak memilih yang mana, “Bapak bisa lewat jembatan merah yang
ada di depan sana, lurus aja, lalu setelah lampu merah keempat belok
kanan. Tapi bisa juga lewat jalan tikus ini, Mas, walau jalannya agak
jelek tapi lebih cepat. Atau kalau mau, lewat jalan alternatif di
kilometer ke tujuh.”
Tapi ada juga jawaban yang menenangkan. “O, Bapak sudah tidak jauh.
Cukup lurus, perempatan ke empat belok kanan. Di sana akan ada petunjuk
papan jalan. In syaa Allah sebentar lagi sampai. Semangat!” ujarnya
sambil terus tersenyum dan tangannya meliuk-liuk mengikuti alur jalan
yang ia sebutkan.
Ya, dari semua jawaban yang kita temukan, penjelasan yang lengkap dan ramahlah yang kita harapkan, bukan?
Bayangkan, dari semua itu, selain kita belajar tentang keberagaman sifat manusia, kita juga belajar tentang dakwah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar