Sabtu, 07 Mei 2016

bertanya tentang jalan ? lalu apa jawabannya

Pada suatu waktu, tidak semua orang tahu kemana ia harus menuju. Mereka berjalan dalam upaya pencarian tujuan. Saat itulah mereka mampir, menepi sejenak sekadar menanyakan arah tujuan kepada orang yang juga mampir di pinggir jalan.
Mungkin kita pernah dihampiri dan menghampiri seperti itu. Saat itu kita bertanya, “Maaf, numpang nanya, jalan anu kemana ya?”
Lalu jawaban apa yang kita dapatkan? Beragam. Lalu bagaimana perasaan kita setelah itu? Beragam.
Ada dari mereka yang cuek lalu menjawabnya hanya dengan dagu, “Tuh, ke sana!” Setelahnya, sambil melanjutkan perjalanan, kita menyadari sesuatu. Meski jawaban telah kita dapatkan, tapi ada ketidaknyamanan yang kita rasakan.
Ada pula jawaban yang membingungkan. Sambil garuk-garuk kepala, dahi yang mengerut, serta mata fokus ke atas, mereka menjawab, “O, itu kalau nggak salah lurus aja, lalu setelah lewat tikungan ketiga, eh, apa tikungan keempat, ya? Nah, baru belok. Hm… iya kayaknya gitu deh.”
Tak jarang ada jawaban yang begitu kaya informasi. Sampai-sampai kita bingung hendak memilih yang mana, “Bapak bisa lewat jembatan merah yang ada di depan sana, lurus aja, lalu setelah lampu merah keempat belok kanan. Tapi bisa juga lewat jalan tikus ini, Mas, walau jalannya agak jelek tapi lebih cepat. Atau kalau mau, lewat jalan alternatif di kilometer ke tujuh.”
Tapi ada juga jawaban yang menenangkan. “O, Bapak sudah tidak jauh. Cukup lurus, perempatan ke empat belok kanan. Di sana akan ada petunjuk papan jalan. In syaa Allah sebentar lagi sampai. Semangat!” ujarnya sambil terus tersenyum dan tangannya meliuk-liuk mengikuti alur jalan yang ia sebutkan.
Ya, dari semua jawaban yang kita temukan, penjelasan yang lengkap dan ramahlah yang kita harapkan, bukan?
Bayangkan, dari semua itu, selain kita belajar tentang keberagaman sifat manusia, kita juga belajar tentang dakwah.

anak-anak

Inilah yang saya suka dari anak-anak. Mereka cerdas dan lugas, apa adanya. Mereka dapat berteman dengan siapa saja tanpa terbebani perbedaan status sosial. Kalau kita coba ingat-ingat, hanya di masa-masa anak-anak atau di zaman sekolahlah kita bisa berteman tanpa memandang status sosial, dimana ini sulit diberlakukan saat kita sudah dewasa atau bekerja. Betul, ya?

sebuah "jeda"

 “Apa yang harus aku lakukan pada masalahku ini?”
“Temukanlah sebuah jeda. Jeda yang membuatmu dapat melihat segala sesuatunya lebih luas dan utuh. Karena boleh jadi masalah terasa sangat besar manakala kita tidak memiliki jeda dalam memandang masalah.,” jawabku enteng.
“Apakah jeda itu?” tanyanya. Kali ini dengan wajah yang bingung.
“Keikhlasan.”
“Apakah semudah itu untuk ikhlas?”
“Tergantung.”
“Maksudnya?”
“Tergantung, apakah kita yakin pada Allah yang akan menguatkan dan memberi jalan keluar pada kita atau tidak.”

biar saja

bila malam menghantui
namum tak seorangpun peduli
lepaskan saja

kalaulah hujan mengiringi
dan tak satupun yang kembali
biarkan saja

karena pelangi akan tercipta
setelah hujan tiada

tak ada cerita yang bisa aku bagi dengan mu...

...tak ada cerita yang bisa aku bagi dg mu
selain ular ular yang sulit kau kira kira
seberapa panjang antara kepala sampai ekor yang melilit diriku.

doakan saja aku